Okegas.co.id - Sanitasi yang layak dan air bersih merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi masyarakat. Masyarakat tidak bisa terlepas dari kedua aspek penting dalam kehidupan tersebut karena keduanya saling berkaitan dan dipengaruhi oleh keadaan lingungan . Apabila masyarakat tidak mendapatkan akses sanitasi dan air yang layak maka akan menurunkan kualitas kehidupan masyarakat terutama di bidang kesehatan. Permasalahan tentang sanitasi yang layak dan air bersih menjadi salah satu permasalahan nasional yang belum sepenuhnya dapat teratasi di Indonesia. Permasalahan tersebut juga terjadi di dalam kehidupan masyarakat Batang Lolo Pandung, Nagari Pakan Rabaa Tengah, Koto Parik Gadang Diateh, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Masih banyak dari masyarakat Batang Lolo Pandung yang melakukan aktivitas di sungai terutama membuang air besar sembarangan (BABS). Perilaku tersebut merupakan salah satu penyebab munculnya penyakit karena tindakan membuang kotoran di ruang terbuka seperti sungai, ladang atau laut akan mengotori lingkungan. Masyarakat juga akan rentan terkena gigitan hewan liar seperti ular, kalajengking atau hewan-hewan liar lainnya yang hidup di ruangan terbuka. Padahal pemerintah telah menargetkan adanya peningkatan sebesar 95% akses sanitasi layak dan 15% sanitasi aman dengan target penurunan perilaku membuang air besar sembarangan menjadi 0% di tahun 2024 melalui Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Program pembangunan sanitasi tersebut pernah dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia, namun hanya terbatas pada pembangunan instalasi pengolahan air limbah berbentuk tangki septik yang digunakan bersama-sama oleh masyarakat (Asriani et al., 2024).
Berdasarkan analisis yang penulis lakukan di Batang Lolo Pandung perilaku membuang air besar sembarangan (BABS) di sungai menjadi dilema bagi masyarakat Batang Lolo pandung karena di satu sisi masyarakat terpaksa untuk melakukan BABS di sungai lantaran tidak mempunyai jamban pribadi di rumah dan di sisi lain masyarakat juga malu untuk melakukan hal tersebut karena sungai merupakan salah satu tempat umum yang sering di lalui banyak orang. Perilaku BABS tersebut tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang tidak mempunyai jamban pribadi di rumah, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat yang mempunyai jamban pribadi, namun karena akses air yang sulit dimana masyarakat memerlukan waktu berjam-jam untuk menampung air, membuat masyarakat lebih memilih untuk melalukan BABS di sungai. Kondisi tersebut menjadi permasalahan serius yang memerlukan penanganan khusus oleh pemerintah. Perilaku membuang air besar sembarangan (BABS) di sungai mempunyai beberapa dampak kesehatan dan sosial bagi masyarakat karena sungai yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, kini menjadi tempat pembuangan kotoran yang menjadi sumber penyakit bagi masyarakat seperti diare, tifus, dan berbagai penyakit menular lainnya yang kerap kali menyerang warga terutama anak-anak yang paling rentan. Air sungai yang tercemar meracuni kehidupan sehari-hari, membuat warga terperangkap dalam siklus kemiskinan akibat tingginya biaya pengobatan. Bagi kaum perempuan, situasi ini bagaikan siksaan ganda. Mereka harus menunggu gelap atau bangun sebelum fajar untuk mendapatkan privasi minimal, sebuah kondisi yang melukai martabat dan menimbulkan trauma mendalam. Anak-anak sekolah pun menjadi korban, konsentrasi belajar terganggu, dan kehadiran di sekolah menurun akibat kesehatan yang terus terpuruk. Ironi terbesar adalah bagaimana praktik ini menciptakan jurang sosial yang semakin dalam. Stigma "tidak beradab" yang melekat membuat warga semakin terpuruk dalam kubangan kemiskinan dan rendah diri. Sementara itu, mereka hanya bisa menanti empati pemerintah untuk mengulurkan tangan, membangun fasilitas sanitasi yang layak, dan mengembalikan martabat mereka sebagai manusia yang berhak atas kehidupan yang sehat dan bermartabat (Sucahyo et al., 2023).
Jika dilihat dari segi pendapatan masyarakat Batang Lolo Pandung sendiri, hanya beberapa orang masyarakat yang mampu untuk membangun sanitasi pribadi di rumah. Sehingga untuk mengatasi permasalahan lingkungan tersebut diperlukan uluran tangan dari pemerintah untuk memberikan bantuan sanitasi dan air bersih yang layak bagi masyarakat Batang Lolo Pandung, karena permasalahan tersebut adalah tanggungjawab pemerintah menimbang Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menjelaskan bahwa sanitasi dan air yang tidak layak akan menimbulkan gangguan kesehatan bagi masyarakat. Padahal kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan melalui setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang dilaksanakan berdasarkan prinsip non diskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan, daya tahan bangsa dan pembangunan nasional. Selain itu, setiap gangguan kesehatan yang terjadi pada masyarakat akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara Indonesia artinya setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat akan menjadi investasi bagi pembangunan negara (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, 2009). Hal tersebut juga diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjelaskan bahwa pemerintah daerah harus menyelenggarakan pemerintahan yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 untuk mempercepat terwujudnya kesehatan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintah dan antar pemerintah daerah (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah, 2004). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan juga menegaskan bahwa bahwa setiap rumah tangga harus mempunyai air untuk keperluan sanitasi atau higiene untuk keperluan sanitasi perorangan atau rumah tangga (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Lingkungan, 2023).
Jadi, praktik BABS di Batang Lolo Pandung telah menciptakan dampak kompleks yang saling terkait antara kesehatan dan sosial. Kondisi ini membutuhkan perhatian serius dan tindakan nyata dari berbagai pihak, terutama pemerintah. Pembangunan fasilitas sanitasi bukan hanya soal infrastruktur fisik, tetapi juga tentang mengembalikan martabat masyarakat, melindungi kesehatan publik, dan memutus rantai kemiskinan. Dibutuhkan pendekatan holistik yang memadukan pembangunan infrastruktur, edukasi masyarakat, dan pemberdayaan ekonomi untuk mengatasi permasalahan ini secara tuntas. Karena pada hakikatnya, akses terhadap sanitasi yang layak adalah hak asasi manusia yang fundamental dan cerminan dari masyarakat yang beradab dan bermartabat.
REFERENSI BACAAN :
Asriani, A., Nursia N, L. E., Kiswanto, K., T. Alamsyah, T. A., & Ernawati, E. (2024). Analisis Hubungan Sanitasi Dasar Rumah dengan Resiko Kejadian Diare pada Balita. Jurnal Syntax Admiration, 5(7), 2541–2548. https://doi.org/10.46799/jsa.v5i7.1242
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan, Pub. L. No. Nomor 2 Tahun 2023, Kemenkes Republik Indonesia 1 (2023). https://peraturan.bpk.go.id/Details/245563/permenkes-no-2-tahun-2023
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah, Pub. L. No. Nomor 32 Tahun 2004, 30 Metallurgical and Materials Transactions A 2221 (2004). https://peraturan.bpk.go.id/Details/40768/uu-no-32-tahun-2004
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pub. L. No. 36 (2009).
Sucahyo, I., Puspitarini, R. C., & Wahyuni, V. N. (2023). Implementasi Program Dana Alokasi Khusus Bidang Sanitasi (DAK Sanitasi) di Desa Randuputih, Kecamatan Dringu, Kabupaten Probolinggo. Professional: Jurnal Komunikasi Dan Administrasi Publik, 10(2), 907–914. https://doi.org/10.37676/professional.v10i2.4485.***