Analisis Implikasi Multidimensional Kebijakan Energi Hijau Pemerintah Indonesia (Perspektif Ekonomi-Ekologis) dalam Kerangka Net Zero Emission

Selasa, 18 Februari 2025 | 18:37:05 WIB

Oleh : Dini Permata Indah
Universitas Riau

Okegas.co.id - Dalam rangka mencapai keberlanjutan ekonomi dan pengurangan degradasi lingkungan maka diperlukanlah pembangunan sektor ekonomi dan energi hijau melalui kebijakan energi hijau pemerintah Indonesia dalam kerangka net zero emission. Menurut Dr. Julio Friedmann (Senior Research Scholar di Center on Global Energy Policy, Columbia University) net zero emission adalah keadaan di mana semua emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia seimbang dengan penghapusan gas rumah kaca dari atmosfer dalam periode tertentu dan meminimalisir ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Ketergantungan pada bahan bakar fosil menjadi peluang untuk implikasi peraturan ekonomi hijau serta adopsi teknologi energi yang terbarukan untuk mencapai tujuan pembangunan Indonesia emas tahun 2045 melalui pengurangan emisi karbon dan penggunaan energi secara efisien. Selain itu kebijakan energi hijau pemerintah juga dapat meningkatkan stabilitas ekonomi dan mendukung PDB (Produk Domestik Bruto) karena menurut VAR konsumsi hijau dan greenflation sangat mempengaruhi stabilitas ekonomi dan lingkungan sehingga membutuhkan penekanan terhadap kebijakan ekonomi dan praktik kegiatan ramah lingkungan. Dalam implikasi kebijakan energi hijau di Indonesia diperlukannya kerangka kebijakan yang komprehensif dan kohesif untuk mengatasi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan ketidakselarasan politik serta peraturan (Judijanto, Mayasari, et al., 2024).
Regulasi daerah dan kerangka hukum yang efektif akan mendukung pengelolaan lingkungan, inovasi dan investasi energi terbarukan yang berfokus pada peningkatan daya beli, pengurangan dampak terhadap iklim serta aksesibilitas atau keterjangkauan bagi masyarakat. Karena jika kebijakan energi hijau tidak didukung oleh kerangka hukum yang komprehensif maka akan menghambat proses implementasinya. Kebijakan energi hijau Indonesia dibentuk karena menimbang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement yang menjelaskan bahwa bahwa perubahan iklim akibat kenaikan suhu bumi merupakan ancaman yang semakin serius bagi umat manusia dan planet bumi sehingga memerlukan kerjasama antarnegara secara lebih efektif. Sehingga Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan anggota masyarakat internasional melalui Konferensi Para Pihak ke-21 United Nations Frameruork Conuention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan Iklim) pada tanggal 12 Desember 2015 di paris, perancis telah mengadopsi Paris Agreement to tle Ijnited Nations Frameuork Conuention on Climate Change (persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja perserikatan Bangsa Bangsa mengenai Perubahan Iklim) yang ditindaklanjuti dengan penandatanganan persetujuan dimaksud padatanggal 22 April 2016 di New york, Amerika Serikat (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Clime Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim), 2016) yang diperkuat dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi, 2007) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2009).
Emisi gas rumah kaca di Indonesia selalu meningkat dari tahun ketahun yang disebabkan oleh timbunan sampah organik yang akan menghasilkan gas metana. Pada sektor pengelolaan sampah gas metana memiliki 34 kali lebih besar nilai global warming potential (GWP) . Setidaknya sektor pengelolaan limbah padat menyumbang 4% emisi gas rumah kaca selain itu penggunaan bahan bakar fosil, penggunaan pestisida pada sektor pertanian serta aktivitas industri minyak dan gas juga dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca (Febrianti et al., 2023). Selain itu, limbah cair yang diolah seperti septiktank dan alterin untuk instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan limbah cair domestik juga merupakan sumber emisi gas rumah kaca. Di tahun 2015 pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mereduksi atau menurunkan emisi gas rumah kaca untuk skenario fair hingga 29% dan skema ambisius dengan bantuan internasional hingga 41%.
Menurut Inter governmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2022 aktivitas manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dan emisi gas rumah kaca akan memberikan ancaman nyata terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan. Terganggunya upaya pengentasan kemiskinan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang menjadi indikator utama untuk mengukur kesejahteraan hidup suatu negara. Adanya perubahan kriteria keberhasilan pembangunan ekonomi dari pendekatan pertumbuhan ke pendekatan kualitas hidup akan mengakibatkan ledakan moneter yang tidak lagi terus-menerus memperbaiki masalah kemiskinan dan kesejahteraan sebagai hasil evolusi paradigma pembangunan ekonomi. Menurut laporan Bank dunia, kerugian ekonomi tahunan dapat mencapai 7,9% dari PBB akibat perubahan iklim yang bergantung pada pertanian dan perikanan karena perubahan iklim juga dapat menyebabkan berbagai bencana seperti kekeringan, banjir dan badai yang menyebabkan kerugian terhadap perekonomian suatu negara. Sehingga untuk mengatasi permasalahan-permasalahan ekonomi dan lingkungan akibat perubahan iklim dan emisi gas rumah kaca maka pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan energi hijau untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta perbaikan kondisi lingkungan. Pemerintahan Indonesia juga menggalakkan adanya transisi penggunaan teknologi ramah lingkungan dan sumber energi terbarukan yang diperkuat dengan peraturan yang kebijakan yang mendukung kebijakan energi hijau tersebut. Kebijakan energi hijau pemerintah Indonesia juga ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan SDG's (Sustainable Development Goals) sebagai bentuk perjanjian yang akan berakhir pada tahun 2030 yang berdasarkan pada kesetaraan dan hak asasi manusia. Sehingga kebijakan energi hijau pemerintah Indonesia harus dilaksanakan dan diterapkan secara menyeluruh mulai dari pemerintah tingkat pusat sampai pemerintah tingkat daerah melalui berbagai langkah-langkah strategis seperti melakukan pengolahan limbah cair dengan penerapan prinsip 3R (reduce, reuse, dan recycle), meminimalkan emisi gas rumah kaca dengan fokus pada pengolahan limbah cair aerobik, melakukan penambahan instalasi pengolahan air limbah serta melakukan tahap inventarisasi, perencanaan dan implementasi komprehensif kebijakan energi hijau pemerintah Indonesia (Dharmawan et al., 2024).
Kebijakan energi hijau di Indonesia didukung oleh Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang keberhasilannya tergantung pada kemitraan pemerintah dengan swasta, inovasi teknologi dan kepatuhan sektoral yang dilaksanakan menurut Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional yang menjelaskan bahwa rangka pengendalian perubahan iklim pemerintah harus berkontribusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C hingga 1,5°C dari tingkat suhu praindustrialisasi. Dan karbon sebagai indikator universal dalam mengukur kinerja upaya pengendalian perubahan iklim yang direfleksikan dalam kontribusi mempunyai nilai ekonomi penting dan dimensi internasional utamanya berupa manfaat ekonomi bagi masyarakat sebagai refleksi prinsip pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan melalui pemilihan aksi mitigasi dan adaptasi yang paling efisien, efektif dan berkeadilan tanpa mengurangi capaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional sesuai dengan amanat pasal 33 ayat 4 undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 (Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Untuk Pencapaian Target Kontribusi Yang Ditetapkan Secara Nasional Dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional, 2021) yang diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik (Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, 2022),  Peraturan Presiden No 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) (Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), 2017) dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional, 2014).
Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) di Balikpapan merupakan salah satu bentuk implementasi kebijakan energi hijau pemerintah Indonesia karena kendaraan listrik berbasis baterai merupakan teknologi ramah lingkungan yang dapat mengurangi emisi gas buang di jalan. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) menjadi landasan dari program tersebut (Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle), 2019). Pemerintah Indonesia berkomitmen penuh dalam percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) yang juga merupakan bentuk dukungan terhadap pembangunan ekonomi industry KBLBB melalui pengaturan tarif industri KBLBB, pemberian insentif, pemenuhan ketentuan teknis, penyediaan infrastruktur pengisian listrik serta perlindungan terhadap lingkungan hidup (Simanjuntak, 2024). Kebijakan ini diperkuat melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 yang mengatur bahwa kendaraan dinas operasional atau kendaraan perorangan dinas instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus menggunakan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai. Pemerintah memproduksi sebanyak 2,45 juta roda dua dan 600 ribu unit roda empat kendaraan KB LBB pada tahun 2023 dan menargetkan 1,76 juta roda dua dan 400 ribu roda empat pada tahun 2025 (Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Sebagai Kendaraan Dinas Operasional Dan/Atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah, 2022). 
Selain itu, implementasi kebijakan energi hijau juga dapat dilihat dari pemanfaatan daya listrik PLTS atap di gedung PLN unit induk distribusi Riau dan Kepri (UID RKR) Pekanbaru dengan perangkat lunak PV syst untuk mencapai target penggunaan energi baru terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penerapan Tarif Tenaga Listrik (Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Penerapan Tarif Tenaga Listrik, 2018) yang diperbarui menjadi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum PLTS atap merupakan penggunaan modul fotovoltaik yang dipasang atau diletakkan pada bagian bangunan seperti dinding dan atap untuk menghasilkan energi listrik melalui sistem sambungan listrik yang membuat pengguna PLN seolah-olah melakukan jual beli (ekspor-imppor) energi listrik (Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2021 Tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum, 2021). Kebijakan tersebut juga dikembangkan dan disosialisasikan oleh pemerintah dengan pengaplikasian PLTS atap di lingkungan kantor BUMN. Manfaat ekonomi dari program ini yaitu dapat mengurangi tagihan listrik bulanan serta dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan ketergantungan pada bahan bakar fosil sebagai manfaatnya terhadap lingkungan (Yulfin et al., 2024).
Kebijakan energi hijau pemerintah Indonesia juga dapat dilihat dari Program Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Masyarakat. Salah satu tersebut adalah program pemberdayaan masyarakat melalui ekonomi kreatif pemanfaatan tempurung kelapa di desa Mattampawalie Kecamatan Lappariaja Kabupaten Bone berlandaskan pada Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2022 tentang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor Nomor 24 Tahun 2022 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 Tentang Ekonomi Kreatif, 2022). Program tersebut merupakan barometer dalam pelayanan kebijakan publik yang mampu mendatangkan dampak positif bagi perekonomian masyarakat melalui pengembangan kreativitas dari masyarakat itu sendiri dalam merubah tempurung kelapa yang biasanya hanya dianggap sebagai sampah menjadi kerajinan tangan yang modis, natural dan etnik yang mempunyai nilai seni yang tinggi serta mampu bersaing di era globalisasi. Selain itu program tersebut juga dapat mengurangi limbah tempurung kelapa sehingga ramah terhadap lingkungan (Utilization & Lappariaja, 2022).
Target kebijakan energi hijau pemerintah Indonesia adalah untuk mencapai kebermanfaatan ekonomim dan lingkungan yang berdasarkan pada RPJMN 2020-2024 tentang Target Energi Terbarukan. Kebijakan energi hijau pemerintah Indonesia mempunyai beberapa implikasi positif terhadap perekonomian Indonesia seperti dapat meningkatkan nilai tambah bruto melalui pemanfaatan pembangkit listrik tenaga energi baru terbarukan (PLT EBT) dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat, mengurangi ketergantungan terhadap impor energi dan meningkatkan ketahanan energi. Selain itu, dari tahun 2014 hingga 2025 diperkirakan akan tercipta output sebesar Rp. 152.028 miliar melalui aktivitas ekonomi pengadaan material, teknologi, dan layanan untuk pembangunan infrastruktur energi yang dapat mendorong pertumbuhan industri terkait dan meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar Rp. 19.486 miliar melalui mekanisme kesempatan kerja dan peningkatan aktivitas ekonomi lokal, dapat membuka lapangan pekerjaan baru mulai dari sektor operationalisasi pembangkit listrik hingga konstruksi sesuai dengan point ke-8 SDGs tentang pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi. Dan nampak kebijakan energi hijau terhadap lingkungan yaitu mendukung komitmen global terhadap perubahan iklim dengan tercapainya target pengurangan emisi karbon, mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil karena terjadinya diversifikasi sumber energi, fluktuasi pasokan, dan peningkatan harga minyak dan gas dunia, mendukung tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) pada poin ke-7 tentang energi bersih dan terjangkau, dapat diandalkan terjangkau dan berkelanjutan untuk semua masyarakat dan poin ke-13 tentang perubahan iklim (Firmansyah et al., 2024). 
Meskipun kebijakan energi hijau pemerintah Indonesia mempunyai sejumlah peluang dan implikasi positif terhadap kehidupan ekonomi dan lingkungan Indonesia namun kebijakan tersebut juga menghadapi sejumlah tantangan seperti adanya ketergantungan terhadap subsidi untuk bahan bakar fosil menyebabkan harga energi konvensional lebih murah dibandingkan energi terbarukan. Hal tersebut akan membuat insentif yang kurang bagi investor dan konsumen untuk beralih ke sumber energi bersih. Subsidi energi juga dapat menyebabkan harga energi hijau sulit untuk bersaing sehingga dapat menghambat pengembangan proyek energi terbarukan yang membutuhkan investasi dan teknologi baru. Hal tersebut juga dapat menghambat pengembangan energi terbarukan karena berkurangnya insentif bagi pengembangan dan inovasi teknologi energi terbarukan. Investasi awal yang tinggi juga dapat menghambat pengembangan kebijakan energi hijau yang karena investor ragu untuk berinvestasi dalam proyek pembangunan energi hijau. Kurangnya dana investasi juga menghambat proses integrasi jaringan listrik karena sebagian besar proyek inovasi energi hijau memerlukan infrastruktur jaringan listrik yang memadai terutama untuk daerah-daerah yang kurang berkembang. Proses perizinan proyek yang rumit dan panjang juga dapat menghambat realitas proyek dalam perencanaan jangka panjang (Judijanto, Ansori, et al., 2024).
      Untuk mempercepat transisi kebijakan energi hijau maka pemerintah harus mampu membuat kebijakan yang lebih terkoordinasi serta jelas dan memberikan dukungan insentif terhadap penelitian dan pengembangan proyek energi hijau termasuk sistem grid pintar dan penyimpanan energi dapat mendorong kolaborasi antara akademisi dan industri untuk menciptakan inovasi yang dapat diterapkan di lapangan serta yang lebih menarik bagi investor. Kemudahan proses perizinan dan penguatan koordinasi antar lembaga juga dapat mempercepat transisi menuju energi terbarukan yang lebih efektif dan efisien karena dapat mengurangi birokrasi yang berbelit-belit dan dapat meningkatkan koordinasi antar lembaga dan kementerian terkait dengan proyek pembangunan energi terbarukan sehingga kebijakan yang dikeluarkan saling terintegrasi. Transisi pembangunan energi terbarukan juga dapat dipercepat melalui pengurangan pajak dan subsidi terhadap proyek pembangunan energi terbarukan karena dapat mengatasi masalah investasi awal yang tinggi. Selain itu, untuk mempercepat transisi energi terbarukan juga diperlukan adanya pemberian sosialisasi dan edukasi, kepada masyarakat melalui kampanye kesadaran publik workshop dan pelatihan tentang pentingnya peralihan dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan (Sryani Br. Ginting, 2024).
Jadi, kebijakan energi hijau pemerintah mempunyai implikasi positif yang sangat besar bagi masyarakat dan negara Indonesia. Namun, tantangan dalam pengembangan kebijakan energi hijau juga bisa menghambat percepatan upaya transisi energi terbarukan. Sehingga diperlukannya berbagai kebijakan yang lebih jelas dan konsisten untuk mencapai target bauran energi terbarukan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sehingga kebijakan energi hijau dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan lingkungan dalam jangka panjang.

REFERENSI BACAAN :

Dharmawan, I. B., Dwimas, H., Marali, A. M., & Yusrina, Y. Z. (2024). Upaya Penurunan Emisi Co 2 Sektor Limbah Cair Di Kota Balikpapan Efforts To Cut Co 2 Emissions in Wastewater Sector of Balikpapan City. Snitt-Politeknik Negeri Balikpapan 2023, 6, 4–7. https://jurnal.poltekba.ac.id/index.php/prosiding/article/view/1962
Febrianti, N., Arief Prambudi, D., & Dinda Anggraeny, R. (2023). Analisis Emisi Gas Rumah Kaca (Grk) Pada Pengelolaan Sampah Organik (Studi Kasus: Itf Kota Hijau Balikpapan). Jurnal Sains &Teknologi Lingkungan, 15(2), 106–120. https://doi.org/10.20885/jstl.vol15.iss2.art1
Firmansyah, D., Ahwiddhana, F. A., & Pramasha, R. R. (2024). Analisis ekonomi pemanfaatan energi terbarukan di indonesia untuk pembangunan berkelanjutan. JURNAL MEDIA AKADEMIK (JMA), 2(12), 1–14. https://peraturan.bpk.go.id/Details/216815/pp-no-24-tahun-2022
Judijanto, L., Ansori, T., & Nurhasanah, D. P. (2024). Pengaruh Kebijakan Energi Bersih dan Subsidi Energi Terbarukan terhadap Adopsi Teknologi Hijau dan Keefisienan Energi di Jawa Tengah. Jurnal Multidisiplin West Science, 3(05), 624–638. https://doi.org/10.58812/jmws.v3i05.1198
Judijanto, L., Mayasari, N., & Sitompul, G. A. (2024). Dampak Regulasi Ekonomi Hijau dan Penggunaan Teknologi Energi Terbarukan Terhadap Efisiensi Energi Listrik di Indonesia. Jurnal Multidisiplin West Science, 03(10), 1740–1749. https://wnj.westscience-press.com/index.php/jmws/article/view/1673
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 4.

Terkini