Penantian Belasan Tahun di Balik Gemerlap Emas Batang Toru: Jeritan Warga Tuntut Keadilan Ganti Rugi Lahan dari Raksasa Tambang PT AR

Rabu, 23 April 2025 | 17:42:53 WIB

Tapsel, Okegas.co.id – Dibalik megahnya operasional PT AR, sebuah perusahaan tambang emas yang menyandang status Objek Vital Nasional di jantung Batang Toru, Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara, tersimpan bara keluh kesah yang membara selama bertahun-tahun. Sementara perusahaan ini terus menorehkan kontribusi signifikan bagi perekonomian daerah dan negara, sekelompok masyarakat merasakan pil pahit akibat lahan mereka yang belum mendapatkan ganti rugi yang dijanjikan.

Kisah pilu ini telah bergulir sejak belasan tahun silam. Dengan nada getir, para pemilik lahan menceritakan perjuangan tanpa henti mereka untuk mendapatkan hak yang seharusnya menjadi milik mereka. Sejak tahun 2012, berbagai dokumen kepemilikan telah diserahkan kepada perangkat desa dan kecamatan, dengan harapan nama mereka tercatat sebagai penerima ganti rugi dari aktivitas pertambangan emas di tanah leluhur mereka. Ironisnya, dukungan tulus mereka terhadap operasional PT AR justru berbanding terbalik dengan perlakuan yang mereka terima.

Suparman Raharjo, salah seorang pemilik lahan, dengan jelas mengingat awal mula permasalahan. "Mulai tahun 2012, kami dilarang masuk ke areal kebun karet yang telah kami usahakan sejak 1995. Lahan seluas 14,5 hektar ini saya beli dari Raja Luat, Hendra Winata Siregar, dengan surat resmi yang ditandatangani Kepala Desa Napa," ungkapnya, kepada Wartawan, Rabu (23/04/2025).

Kisah serupa juga dialami Pajaria Siregar, yang memiliki 5 hektar lahan di area yang sama. "Surat-surat kami sudah lama diserahkan ke kepala desa untuk diusulkan ganti rugi oleh PT AR, namun hingga kini tak ada kejelasan," imbuhnya dengan nada frustrasi.

Marwan Tanjung, dengan kepemilikan lahan seluas 10 hektar yang diperolehnya sejak 1997, juga merasakan ketidakadilan yang sama. "Lahan yang saya tanami karet ini juga berasal dari Raja Luat dan suratnya dari kepala desa. Kami hanya bisa menunggu dan berharap," tuturnya. 

Senada dengan itu, Nurcahaya Tanjung dan Pendi Silaban juga menyampaikan nasib serupa terkait lahan mereka seluas 10 dan 7 hektar yang telah mereka kuasai sejak lama melalui pembelian.

Kisah yang paling menyayat hati datang dari Monang Siregar. Duduk di kursi roda, ia mengungkapkan kepedihan karena tak lagi bisa melihat lahan yang telah lama menjadi sumber kehidupannya. 

"Kami hanya ingin hak kami dipenuhi. Jika memang lahan kami dieksploitasi, sudah seharusnya ada ganti rugi yang adil," lirihnya, mewakili suara banyak warga lainnya yang hadir dalam pertemuan di Padang Sidimpuan.

Dalam pertemuan tersebut, para pemilik lahan mencari keadilan dengan meminta pendampingan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Korek. Mereka berharap LSM ini dapat memberikan masukan dan langkah konkret untuk memperjuangkan hak mereka. 

"Kami sudah berjuang sejak 2012. Semua dokumen sudah kami serahkan. Bahkan, kami pernah tiga bulan delapan hari berada di Jakarta untuk memperjuangkan ini, namun hasilnya nihil," ungkap Marwan Tanjung dengan nada putus asa. 

"Kami masih memegang surat kepemilikan asli, tapi hak kami seolah diabaikan. Kami mohon bantuan LSM Korek." Tambahnya.

H Syafarudin Lubis SH, Pembina LSM Korek Riau, yang hadir didampingi Miswan dan Darbi, merespons keluhan masyarakat dengan menawarkan bantuan konkret.

"Berikan kami surat kuasa, dan kami akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu mengurus ganti rugi lahan ini," tegasnya. 

Ia juga menekankan pentingnya doa dalam perjuangan ini. "Selaku manusia beragama, selain berusaha, kita juga harus berdoa agar perjuangan kita diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa," ujarnya memberikan semangat.

Usai pertemuan yang berlangsung cukup lama, tim media bergerak cepat menuju kantor PT AR di Batang Toru untuk mengonfirmasi kebenaran keluhan masyarakat. Namun, karena hari telah beranjak sore, upaya konfirmasi langsung belum membuahkan hasil. Awak media berjanji akan terus mengawal dan mencari jawaban dari pihak perusahaan terkait permasalahan yang telah mengakar ini.

Kisah penantian panjang masyarakat Batang Toru ini menjadi ironi di tengah gemerlap industri pertambangan emas. Janji ganti rugi yang tak kunjung terealisasi menimbulkan pertanyaan besar tentang keadilan dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat yang berada di sekitar area operasionalnya. Akankah suara-suara terpinggirkan ini akhirnya didengar? Kita tunggu perkembangan selanjutnya.***

Terkini