TNTN Telah menjadi Perkampungan dan Kebun Pertanian Rakyat: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Minggu, 22 Juni 2025 | 00:45:29 WIB

Pekanbaru, Okegas.co.id - Viral beredar dimedia sosial dan menjadi perbincangan hangat diberbagai daerah oleh masyarakat petani Sawit terkait adanya penindakan Penertiban Kawasan Hutan diberbagai wilayah dan Provinsi Riau khusus nya di Toro Yakni Taman Nasional Tesso Nilo(TNTN).

Rahmad Panggabean Menyampaikan Pernyataan sikap dan Rasa kekesalan nya dengan adanya peristiwa ini melalui saluran WhatsAap nya saat dikonfirmasi Awak media pada Sabtu, 21-06-2025.

Rahmad Panggabean, Ketua Dewan Pimpinan Daerah(DPD) Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM) Gerakan Anti Korupsi dan Penyelamatan Aset Negara (Gakorpan) Provinsi Riau, mengungkapkan keprihatinannya atas penyusutan wilayah Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dari 81.793 hektare menjadi 12.361 hektare.

Rahmad menyampaikan penyesalannya terhadap seluruh Para Pejabat Negara dan Pemerintahan terkait serta pemangku kepentingan yang ada atas terjadinya penindakan Penertiban Kawasan Hutan yang sudah mulai dilaksanakan oleh Aparat Penegak Hukum(APH) melalui Satgas Pednertiban Kawasan Hutan(Satgas PKH) tanpa toleransi yang berkeadilan terhadap Masyarakat Petani diberbagai daerah di Indonesia provinsi Riau khususnya.

Menurut Rahmad, pemerintah pusat dan daerah telah mengeluarkan aturan-aturan yang melarang pengalihfungsian kawasan hutan, namun baru-baru ini Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) gencar melaksanakan penertiban di seluruh Indonesia, termasuk di Provinsi Riau.

Rahmad mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas penyusutan wilayah TNTN. Apakah ribuan masyarakat yang telah menduduki kawasan tersebut selama bertahun-tahun? Atau apakah pemerintah yang telah gagal mengawasi kawasan hutan?

"Kami menduga ada indikasi korupsi dan pungli dari oknum perangkat desa dalam menerbitkan SKT dan administrasi kependudukan," kata Rahmad.

Rahmad juga mempertanyakan klaim Balai TNTN yang menyatakan "bahwa pihaknya tidak pernah membiarkan kawasan hutan dirusak oleh perambah, tak jarang mereka diintimidasi bahkan mengalami kekerasan fisik di tengah menjalankan tugas melindungi kawasan hutan"!

Tidak masuk akal apa yang disampaikan pihak Balai TNTN! Justru dengan pernyataan tersebut, seolah-olah menyalahkan masyarakat yang mendiami kawasan hutan tersebut sebagai pihak yang harus bertanggung jawab, ujar Rahmad Panggabean.

"Soal adanya intimidasi, pengancaman, kekerasan fisik kepada Petugas Balai TNTN, sebenarnya dapat dilaporkan kepada Aparat Penegak Hukum (APH)". Negara sudah menggaji Balai TNTN untuk mengawasi agar kawasan tersebut tidak beralih fungsi, Mereka harus bertanggungjawab penuh apapun alasannya, ungkap Rahmad Panggabean.

Akibat tidak maksimalnya kinerja Balai TNTN, nilai kerugian Negara terhadap pemulihan Kawasan Hutan menjadi membengkak tidak ternilai harganya, sehingga biaya pemulihannya akan memerlukan biaya sangat besar, ujar nya.

Begitu juga halnya dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil(Disdukcapil) Kabupaten Pelalawan yang mengklaim tidak pernah mengeluarkan administrasi Kependudukan (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) kepada masyarakat yang bermukim di kawasan TNTN, Ini akan menjadi buah simalakama, karena ribuan masyarakat di dalam kawasan tersebut ikut serta sebagai Pemilih dalam Pemungutan Suara Pemilihan Umum (Pemilu). Baik Pilkada, Pileg, bahkan Pilpres, mereka sahih penduduk resmi Kabupaten Pelalawan meskipun berada di dalam kawasan Hutan TNTN  tersebut.

Data masyarakat dijadikan sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) di KPU saat Pemilu, Bila masyarakat dalam kawasan tersebut dianggap "ilegal" suara hasil Pemilu niscaya akan berubah. Tidak  menutup kemungkinan, Anggota DPRD, Gubernur, Bupati yang hari ini menduduki jabatannya dari daerah pemilihan tersebut, juga akan berubah seluruh nya.

Kemudian Dinas Pendidikan Kabupaten Pelalawan akankah juga mengklaim tidak mengetahui adanya Sekolah Dasar Negeri di kawasan TNTN? akankah Kita juga menunggu dan terus diam saja hingga Masyarakat yang akan terus dipojokkan, tegas Rahmad Panggabean.

Oleh sebab itu, Pemerintah Pusat dalam hal ini Satgas PKH harus memikirkan langkah stategis nasib puluhan ribu masyarakat Indonesia yang telah terlanjur hidup di dalam kawasan tersebut. Pendidikan, physikologi dan kelangsungan hidup para orang tua yang selama ini menghidupi keluarganya dari hasil kebun kelapa sawit harus diperhitungkan. Ini bukan hanya sekedar relokasi mandiri semata, permasalahan kompleks akan tak dapat dihindari.

Seharusnya, pemerintah terlebih dahulu mencari akar permasalahan ribuan masyarakat yang menduduki kawasan hutan, Jangan karena "masyarakat kecil" dengan sigapnya Satgas PKH mengultimatum harus relokasi mandiri paling lambat 3 bulan (sampai 22 Agustus 2025). Sementara, pihak-pihak yang menjual Kawasan Hutan tersebut kepada masyarakat, Oknum Pejabat yang mengeluarkan legalitas surat tanah, hingga legalitas kependudukan mereka "hingga saat ini belum terdengar gaungnya akankah juga terlibat dan diberikan penindakan sebagai pihak yang semestinya turut bertanggung jawab"!

Bahkan, seperti pernyataan Kejagung, ada indikasi Korupsi dan Pungli dari Oknum Perangkat Desa dalam menerbitkan SKT dan administrasi kependudukan. Apakah oknum Perangkat Desa bekerja sendiri? Ini perlu ditelusuri sampai ke akarnya, tegas Rahmad.

Tambah Ramad, Beberapa tahun yang lalu, para Aktifis, Pemerhati Lingkungan Hidup, acap kali mengkritisi kawasan TNTN yang berubah fungsi, tapi pemerintah tak hadir. Bukan hanya di kawasan TNTN, berbagai wilayah di Provinsi Riau yang kawasan hutan sudah beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit, sudah sering kali dilaporkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke  DLHK, APH, maupun isntansi terkait, tetapi tak ada penindakan. Apakah menunggu hingga menjadi seperti Taman Nasional Tesso Nilo, setelah masyarakat sudah banyak menduduki kawasan hutan, barulah pemerintah dengan sigap bertindak?


Rahmad meminta pemerintah pusat harus memikirkan langkah strategis untuk menangani nasib puluhan ribu masyarakat yang telah terlanjur hidup di dalam kawasan tersebut. "Pendidikan, psikologi, dan kelangsungan hidup para orang tua yang selama ini menghidupi keluarganya dari hasil kebun kelapa sawit harus diperhitungkan," kata Rahmad.

Rahmad juga meminta APH untuk menindak oknum pejabat dan pengusaha yang terlibat dalam perambahan hutan. "Bukan rahasia umum lagi, pengusaha-pengusaha nakal dan oknum Pejabat dari berbagai instansilah awal mula dalang nya sebagai perambah hutan yang kemudian berlanjut diikuti oleh masyarakat petani sehingga menjadi lebih meluas hingga saat ini", kata Rahmad.


Perlu diketahui, fakta yang sebenarnya menurut dari beberapa sumber seperti Universitas Leiden di Belanda, bahwa pada tahun 1950 - 1960 hutan Tesso Nilo ini adalah hutan alami. Namun pada tahun 1960 hingga 1970 pemerintah mengubah status hutan ini menjadi Hutan Produksi. Dengan berubahnya status hutan ini,  pemerintah dapat memberikan izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) kepada Badan Hukum.

Maka, pada tahun 1974, pemerintah melalui Menteri Pertanian menerbitkan hak pengelolaan hutan seluas 120.000 hektare kepada PT Dwi Marta. Pada tahun  sekitar 1979, pemerintah juga melalui Menteri Pertanian menerbitkan izin hak pengelolaan hutan seluas  48.370 hektare.

Ini adalah sejarah awal bagaimana Tesso Nilo ini sebenarnya sebelum menjadi Taman Nasional yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2004, sebenarnya itu adalah kawasan Hutan Produksi yang izin hak pengelolaan hutannya oleh badan usaha swasta, bahkan pada tahun 1995 pemerintah sendiri mengambil izin HPH-nya dan diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu Inhu Tani 4 berdasarkan SK Menteri Kehutanan1995.

Jadi yang terjadi hari ini bukan serta merta bahwa kawasan Tesso Nilo ini murni kawaasan konservasi dari awal Indonesia merdeka, tapi pernah di dalamnya juga berdiri yaitu status kawasan hutan produksi yang di dalamnya ada izin pengelolaan hutan oleh pihak swasta. (red).

Terkini