Konflik lahan yang melibatkan warga Kampung Tumang di Kabupaten Siak, Riau, dengan PT Seraya Sumber Lestari (SSL) kembali memperlihatkan wajah buram tata kelola investasi di daerah. Kasus ini menunjukkan persoalan klasik yang berulang: tumpang tindih izin, lemahnya pengawasan, serta abainya penghormatan terhadap masyarakat adat.
Puncak konflik terjadi pada Juni 2025, ketika ribuan warga yang menuntut kejelasan hak atas tanah memasuki area perusahaan dan membakar sejumlah aset. Bupati Siak turun langsung menenangkan massa. Dalam kesaksiannya di pengadilan, Bupati menyebut konflik bermula dari arogansi perusahaan yang enggan berkoordinasi dan tidak menghormati pemerintah daerah.
Peristiwa ini bukan sekadar sengketa lahan, melainkan gejala struktural dari lemahnya tata kelola sumber daya alam. Banyak perusahaan memperoleh izin secara administratif, namun tanpa pengawasan sosial dan lingkungan yang memadai. Pemerintah daerah kerap berada dalam posisi sulit: di satu sisi ingin menarik investasi, di sisi lain harus melindungi hak warga dan menjaga ketertiban sosial. Ketika fungsi mediasi tidak berjalan, benturan menjadi tak terhindarkan.
Dalam kerangka keadilan sosial, konflik seperti ini memperlihatkan asimetri kekuasaan yang tajam. Perusahaan memiliki kekuatan modal, dukungan hukum, dan akses politik; sementara masyarakat lokal hanya bersandar pada legitimasi adat dan rasa keadilan. Ketika ruang dialog tertutup dan aspirasi tak tersalurkan, frustrasi sosial berkembang menjadi tindakan destruktif. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan tanda gagalnya negara dalam menjamin keadilan bagi rakyat di wilayah kaya sumber daya.
Dampaknya meluas ke berbagai aspek. Dari sisi ekonomi, kerugian akibat rusaknya aset perusahaan dan infrastruktur berdampak pada produktivitas dan minat investasi. Secara sosial, konflik menimbulkan trauma dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ketika warga merasa tidak didengar, mereka kehilangan keyakinan bahwa hukum dapat melindungi yang lemah. Dalam jangka panjang, kondisi ini menggerus legitimasi pemerintah daerah dan menghambat pembangunan berkelanjutan.
Konflik Siak seharusnya menjadi momentum refleksi bagi semua pihak. Pemerintah perlu menata ulang mekanisme pengawasan investasi agar tidak hanya mengutamakan aspek perizinan, tetapi juga keberlanjutan sosial. Dibutuhkan tim mediasi independen yang melibatkan tokoh adat, akademisi, dan masyarakat sipil. Selain itu, audit sosial terhadap praktik perusahaan perlu dilakukan untuk memastikan transparansi dan tanggung jawab publik.
Lebih jauh, pemerintah pusat harus memperkuat kapasitas daerah dalam mengawasi dan menegakkan aturan terhadap perusahaan lintas sektor. Otonomi daerah tidak boleh berhenti pada administratif, tetapi harus berarti kemandirian dalam menjaga keadilan sosial dan lingkungan.
Konflik di Kabupaten Siak adalah peringatan bahwa pembangunan ekonomi tidak bisa diukur hanya dari besarnya investasi. Pembangunan sejati adalah ketika pertumbuhan ekonomi berjalan seiring dengan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat. Jika pelajaran ini diabaikan, konflik serupa akan terus berulang di banyak daerah, meninggalkan luka sosial yang semakin dalam.***
Tentang Penulis:
Anton Hidayat, S.H. adalah Ketua Yayasan Bertuah Sakti Nusantara dan pemerhati kebijakan publik serta isu agraria di Riau.