Menuju Budaya Aman di Jalan: Membangun Kesadaran Kolektif

Menuju Budaya Aman di Jalan: Membangun Kesadaran Kolektif

_Oleh:
H. Abdul Kudus Zaini
Dosen Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Bidang Lalu Lintas dan Transportasi
Universitas Islam Riau 
Pekanbaru
Email: abdulkuduszaini@eng.uir.ac_ 

Okegas.co.id Pekanbaru : Perkembangan kota Pekanbaru sebagai pusat kegiatan ekonomi di Riau telah mendorong peningkatan signifikan jumlah kendaraan bermotor, terutama sepeda motor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pekanbaru 2024, lebih dari 78% kendaraan yang beroperasi di jalan perkotaan merupakan sepeda motor.

Kondisi ini moneymaking tekanan besar pada sistem transportasi, baik dari sisi kapasitas jalan, keselamatan, maupun perilaku pengendara.
Namun persoalan yang paling menonjol bukan sekadar pertumbuhan jumlah kendaraan, melainkan perilaku pengendaranya.

Banyak pengendara yang belum memiliki kesadaran penuh terhadap aturan, etika, dan prinsip keselamatan berlalu lintas. 

Hal ini tercermin dari tingginya angka kecelakaan yang melibatkan pengendara sepeda motor, yang secara nasional mencapai 73% dari total kecelakaan lalu lintas (Korlantas Polri, 2024).

  • Hasil pengamatan lapangan dan beberapa studi perilaku transportasi menunjukkan bahwa pengendara di Pekanbaru cenderung menunjukkan ciri perilaku berikut:
    - Agresif dan terburu-buru, sering menyalip tanpa jarak aman.
    Kurang disiplin terhadap marka dan sinyal lalu lintas.
    - Tidak konsisten menggunakan perlengkapan keselamatan (helm, lampu utama, dsb).
    - Cenderung melanggar jalur dan trotoar pada saat kemacetan.

  • Fenomena ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan akibat dari interaksi antara kondisi sosial, ekonomi, tata guna lahan, dan desain jalan. Misalnya, tata ruang kota yang padat aktivitas komersial menyebabkan tingginya konflik antara kendaraan dan pejalan kaki. Selain itu, kurangnya fasilitas traffic calming serta lemahnya penegakan hukum membuat pelanggaran menjadi kebiasaan sosial.

    Secara ilmiah, keselamatan lalu lintas merupakan hasil dari tiga komponen utama yang saling berinteraksi:

  • • Manusia (human factor)
    • Kendaraan (vehicle factor), dan
    • Lingkungan jalan (road environment).
  • - Faktor manusia berkontribusi paling besar, sekitar 85–90% penyebab kecelakaan (World Health Organization, 2023). Ini mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan perilaku berkendara.
    - Faktor kendaraan meliputi kondisi teknis seperti rem, ban, dan pencahayaan.
    - Faktor lingkungan jalan terkait desain geometrik, permukaan jalan, Penaranda, serta manajemen lalu lintas.
     
  • Teori klasik Human Error Model oleh Reason (1990) menjelaskan bahwa kecelakaan bukan semata akibat kesalahan individu, tetapi hasil dari kegagalan sistemik — misalnya desain jalan yang tidak ramah pengguna, atau sistem penegakan hukum yang inkonsisten. Dengan demikian, membangun budaya aman di jalan menuntut pendekatan multidisiplin antara rekayasa teknik, pendidikan, dan kebijakan publik.

    Keselamatan tidak dapat dicapai hanya melalui penegakan hukum, melainkan melalui perubahan pola pikir masyarakat. Collective safety awareness berarti seluruh pengguna jalan memiliki persepsi risiko yang sama terhadap bahaya lalu lintas, dan menempatkan keselamatan sebagai nilai sosial.

    Kajian oleh Transport Research Laboratory (TRL, 2022) menunjukkan bahwa negara dengan tingkat fatalitas rendah memiliki indikator kesadaran kolektif yang tinggi, di mana pengguna jalan saling mengingatkan dan menghormati hak pengguna lain.

    Di Pekanbaru, pembentukan kesadaran ini masih lemah karena perilaku berkendara lebih banyak dipengaruhi oleh emosi sesaat, tekanan waktu, dan minimnya pendidikan berlalu lintas yang berkelanjutan.

    lmu rekayasa lalu lintas dan  transportasi modern menyediakan berbagai pendekatan ilmiah untuk meningkatkan keselamatan:
  •  

Analisis titik rawan kecelakaan lalu lintas (Black Spot Analysis) untuk menentukan prioritas penanganan.


• Traffic Calming Design seperti speed table, rumble strip, dan choker lane untuk mengendalikan kecepatan.
Human Factors Engineering dalam desain rambu, marka, dan sinyal agar sesuai dengan persepsi visual pengendara.


• Simulasi mikroskopik (PTV Vissum  Misum) untuk memahami perilaku interaksi pengendara dan memprediksi risiko tabrakan.


• Implementasi berbasis data dan rekayasa ini perlu disertai dengan evaluasi perilaku pengguna, sehingga desain jalan tidak hanya aman secara teknis tetapi juga sesuai dengan karakter pengendara lokal.

• Edukasi Lalu Lintas Terintegrasi – Pendidikan keselamatan dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dan universitas, termasuk simulation perilaku lalu lintas nyata.


• Penegakan Hukum dan Pengawasan Digital – Penerapan electronic traffic law enforcement (ETLE) harus dioptimalkan untuk mendorong kepatuhan berbasis teknologi.
• Kampanye Sosial Berbasis Komunitas – Klub motor, kampus, dan perusahaan dapat menjadi agen penyebar perilaku aman.
• Audit Keselamatan Jalan (RSA) – Evaluasi sistematis terhadap desain dan kondisi eksisting jalan di wilayah perkotaan.
• Pendekatan Interdisipliner – Kolaborasi antara bidang teknik sipil, psikologi, komunikasi, dan kebijakan publik.


Perilaku pengendara sepeda motor di Pekanbaru mencerminkan masih rendahnya kesadaran kolektif terhadap pentingnya keselamatan jalan. Pendekatan ilmiah terhadap keselamatan tidak hanya menyoroti kesalahan individu, tetapi menuntut sinergi antara manusia, kendaraan, dan sistem jalan. Dengan memadukan pendidikan, penegakan hukum, rekayasa teknik, dan partisipasi sosial, budaya aman di jalan dapat diwujudkan secara berkelanjutan.

Keselamatan lalu lintas adalah indikator kematangan budaya transportasi suatu kota. Pekanbaru diharapkan tidak hanya tumbuh dalam jumlah kendaraan, tetapi juga dalam kualitas kesadaran warga  menuju kota yang berlalu lintas aman, berbudaya, dan beradab.**

#Opini

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index