Tantangan
Kami, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning yang terdiri dari Gino Hutabarat, Nasir Harahap, dan Moses Panjaitan, berpandangan bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia adalah manifestasi paling nyata dari kedaulatan rakyat. Ia adalah ritual lima tahunan yang sarat akan harapan akan perubahan dan perbaikan. Meski demikian, sebagai warga negara yang mengamati, kami melihat proses ini berjalan di atas dua kutub yang kontras: idealisme demokrasi yang agung dan realitas pragmatisme politik yang terkadang suram.
1. Dasar Hukum yang Mengikat
Sistem kepemiluan di Indonesia dibangun di atas fondasi hukum yang kuat, yang berfungsi sebagai jangkar bagi proses demokrasi:
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 22E Ayat (1):
“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
Asas Luber Jurdil ini merupakan roh dari pemilu kita.
Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum:
Menjadi payung hukum utama yang mengatur detail teknis penyelenggaraan pemilu, mulai dari tahapan, peserta, hingga penyelesaian sengketa.
UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada:
Mengatur pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, Wali Kota) yang pelaksanaannya dipisah dari pemilu nasional, sehingga menciptakan dinamika tersendiri dalam manajemen pemilu.
2. Sisi Positif: Kemajuan dan Partisipasi
Beberapa hal positif yang patut diapresiasi dari perjalanan kepemiluan di Indonesia antara lain:
Tingkat Partisipasi Tinggi (Positif):
Antusiasme masyarakat dalam menggunakan hak pilih, terutama pada Pemilu 2024, menunjukkan tingginya kesadaran politik. Ini merupakan modal sosial penting bagi penguatan demokrasi.
Stabilitas Penyelenggaraan (Positif):
Terlepas dari kompleksitas logistik, KPU dan Bawaslu secara umum berhasil menyelenggarakan pemilu berskala besar dengan relatif aman dan lancar.
Sistem Peradilan Pemilu (Positif):
Adanya mekanisme penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi serta penanganan pelanggaran oleh Bawaslu dan DKPP menunjukkan keberadaan sistem checks and balances dalam penegakan keadilan elektoral.
3. Sisi Negatif: Celah dan Tantangan
Di sisi lain, terdapat berbagai persoalan yang dapat menggerogoti kepercayaan publik dan mencederai prinsip Luber Jurdil:
Beban Kerja Penyelenggara (Negatif):
Pemilu serentak 2019 menimbulkan korban jiwa di kalangan petugas KPPS akibat beban kerja berlebihan. Meski ada perbaikan pada Pilkada 2024, isu keselamatan dan kesehatan petugas tetap menjadi perhatian.
Dugaan Pelanggaran dan Kecurangan (Negatif):
Isu-isu seperti DPT bermasalah, dugaan intervensi aparat, dan penggunaan buzzer sebagai alat propaganda menjadi catatan kritis yang merusak kualitas demokrasi.
Politik Uang dan Polarisasi (Negatif):
Politik identitas dan politik uang masih menjadi momok yang sulit diberantas, merusak rasionalitas pemilih serta menimbulkan polarisasi yang berkepanjangan.
4. Contoh Kasus yang Terjadi
Salah satu kasus yang menjadi perhatian publik adalah persoalan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) pada Pemilu 2024.
Kasus:
Sirekap yang seharusnya menjadi alat bantu transparansi publikasi hasil penghitungan suara justru menunjukkan banyak kejanggalan antara foto C Hasil Plano dan data digital yang ditampilkan di situs KPU.
Dampak Eksplisit:
Meski KPU menyatakan bahwa Sirekap hanya alat bantu dan hasil resmi tetap berdasarkan rekapitulasi manual berjenjang, inkonsistensi data ini memicu ketidakpercayaan publik serta menjadi amunisi utama dalam gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Kasus ini menunjukkan kerentanan sistem teknologi terhadap kesalahan teknis (atau manipulasi) dan pentingnya transparansi data untuk menjaga legitimasi hasil pemilu.
Penjabaran Secara Eksplisit
Secara eksplisit, kami berpendapat bahwa Indonesia memiliki kerangka hukum yang memadai untuk menyelenggarakan pemilu yang demokratis, jujur, dan adil. Namun, tantangan terbesar terletak pada integritas pelaksana serta budaya politik yang kerap mengabaikan etika dan hukum demi kemenangan sesaat.
Pemilu di Indonesia adalah pesta demokrasi terbesar di dunia—sebuah pencapaian logistik yang luar biasa. Namun, “pesta” ini akan terasa hambar jika masih diwarnai ketidakadilan, di mana hukum tunduk pada ambisi politik. Ke depannya, perbaikan sistematis, penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu, dan pendidikan politik berkelanjutan merupakan kunci untuk mewujudkan pemilu yang benar-benar mencerminkan kedaulatan rakyat.***