Analisis Psikologis Konflik Batin Anak terhadap Ekspektasi Berbakti

Analisis Psikologis Konflik Batin Anak terhadap Ekspektasi Berbakti
Oleh: Dini Permata Indah, Instansi: Universitas Riau

Okegas.co.id - Ada momen-momen di mana kita terdiam menatap orang tua, dan tiba-tiba perasaan overwhelming menguasai dada. Melihat ibu yang masih pakai tas lusuh yang sama sejak bertahun-tahun lalu, atau ayah yang menahan sakit punggung tapi tetap berangkat kerja saat-saat seperti ini yang membuat kita ingin berteriak "Andai aku punya kuasa untuk memberikan segalanya!"

Keinginan untuk membahagiakan orang tua adalah salah satu dorongan paling universal yang ada dalam diri manusia. Tidak peduli budaya, agama, atau latar belakang, hampir setiap anak pasti pernah merasakan kerinduan mendalam untuk bisa membalas kebaikan orang tuanya. Namun, antara keinginan dan kenyataan, sering kali terbentang jurang yang terasa begitu lebar.

Yang membuat perasaan ini semakin kompleks adalah cara orang tua kita memaknai kebahagiaan. Sering kali, definisi bahagia menurut mereka sangat berbeda dengan definisi kita. Kita mungkin berpikir membahagiakan berarti memberikan rumah mewah, mobil baru, atau liburan ke tempat eksotis. Tapi bagi mereka, bahagia mungkin sesederhana melihat kita pulang dengan selamat setiap hari.

Paradoks ini menciptakan frustrasi tersendiri. Kita merasa belum berbuat apa-apa, sementara mereka sudah merasa kebanjiran kebahagiaan hanya karena kita menelepon dan bertanya, "Ibu sudah makan siang?" Mereka sudah merasa kaya raya ketika kita cerita tentang pencapaian kecil kita atau tentang hari-hari yang kita lalui.

Perasaan ingin membahagiakan orang tua juga sering diwarnai oleh guilt yang mendalam. Kita ingat bagaimana mereka mengorbankan impian pribadi demi pendidikan kita. Ayah selalu bekerja keras untuk membayar uang kuliah kita. Semua memori ini terakumulasi menjadi beban emosional yang berat.

Yang sering terlupakan adalah bahwa orang tua kita sudah merasa dibahagiakan sejak kita dilahirkan. Bagi mereka, setiap milestone kita mulai dari langkah pertama, kata pertama, hingga wisuda adalah hadiah yang tak ternilai. Mereka tidak "menginvestasikan" cinta dengan harapan return, tapi karena memberi adalah nature mereka sebagai orang tua.

Namun, sebagai anak, kita tidak bisa begitu saja mengabaikan keinginan untuk memberi balik. Perasaan ini legitimate dan justru menunjukkan kedewasaan emosional kita. Yang perlu diubah adalah ekspektasi tentang bentuk dan timing dari pemberian itu.

Membahagiakan orang tua tidak harus menunggu sampai kita punya gaji jutaan rupiah. Kadang, hal-hal sederhana justru punya impact yang lebih besar seperti meluangkan waktu quality time, mendengarkan cerita lama mereka untuk kesekian kali tanpa bosan, atau simply hadir saat mereka membutuhkan.

Mungkin yang paling penting adalah mengomunikasikan perasaan kita kepada mereka. Katakan bahwa kita ingin memberikan yang terbaik, tapi saat ini masih dalam proses. Sebagian besar orang tua akan merasa tersentuh mengetahui bahwa anak mereka memiliki keinginan sincere untuk membahagiakan mereka, bahkan sebelum mampu merealisasikannya.

Pada akhirnya, keinginan untuk membahagiakan orang tua adalah bentuk cinta yang paling murni. Feeling ini tidak perlu ditekan atau diabaikan, tapi perlu dikelola dengan bijak. Karena sometimes, cara terbaik membahagiakan mereka adalah dengan menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri dan itu bisa kita mulai dari sekarang, apa pun kondisi finansial kita.

Karena cinta itu tidak selalu tentang seberapa banyak yang bisa kita berikan, tapi seberapa tulus kita dalam memberikannya.***

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index