Bangkinang, Okegas.co.id – Yayasan Sulusulu Pelita Negeri menggugat Atur Brawm alias Fokui ke Pengadilan Negeri Bangkinang atas tuduhan penguasaan dan eksploitasi ilegal terhadap 148 hektar lahan di kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Minas, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Gugatan ini mengungkap potret buram praktik perambahan hutan konservasi yang berlangsung secara sistemik dan didiamkan selama dua dekade.
Dalam dokumen gugatan, Yayasan Sulusulu menguraikan bahwa lahan yang dikuasai tergugat telah ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi terbatas sejak tahun 1986 dan kemudian berubah status menjadi Tahura Minas melalui serangkaian keputusan resmi dari Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Provinsi Riau. Namun, sejak tahun 2004, kawasan tersebut secara terang-terangan dibuka, ditanami kelapa sawit, dan dimanfaatkan sebagai kebun industri tanpa izin resmi. Aktivitas itu terus berlangsung hingga hari ini. Truk pengangkut TBS hilir mudik, alat berat merawat jalan, pekerja melakukan perawatan tanaman, sementara hutan yang seharusnya dilindungi terus rusak dan terdegradasi.
Yayasan Sulusulu menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, khususnya Pasal 33 ayat (3) yang melarang kegiatan di zona konservasi yang bertentangan dengan peruntukan. Taman Hutan Raya ditetapkan untuk pelestarian alam, pendidikan, penelitian, dan wisata—bukan perkebunan. Dalam gugatannya, Yayasan menuntut agar pengadilan menyatakan tindakan tergugat sebagai perbuatan melawan hukum, memerintahkan pemulihan lahan dengan menebang seluruh pohon sawit, membongkar bangunan, melakukan reboisasi dengan tanaman hutan asli, dan menyerahkan kembali lahan tersebut kepada negara. Mereka juga meminta pengadilan menjatuhkan sanksi uang paksa Rp1 juta per hari jika tergugat mengabaikan putusan.
Yang menarik, Yayasan Sulusulu juga menyeret Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI sebagai turut tergugat. Lembaga-lembaga ini dianggap mengetahui keberadaan perkebunan sawit ilegal di kawasan konservasi namun tidak melakukan langkah pengawasan maupun penindakan. Pembiaran ini, menurut penggugat, menunjukkan adanya kelalaian struktural yang merugikan negara dan ekosistem.
Penting dicatat bahwa tindakan tergugat tak bisa lagi bersembunyi di balik payung hukum Undang-Undang Cipta Kerja. Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat, serta menangguhkan segala bentuk tindakan strategis atau kebijakan turunannya. Dengan demikian, celah legalisasi terhadap sawit ilegal di kawasan hutan, yang sempat ditawarkan oleh UU tersebut, kini secara hukum dinyatakan batal demi hukum.
“Ini bukan sekadar soal lahan, ini soal keberanian melawan kejahatan lingkungan yang dibiarkan tumbuh di atas tanah negara,” tegas Ahmad Sakti Alhamidi HS, Ketua Umum Yayasan Sulusulu. “Kami bertindak atas nama hutan yang tak bisa bicara, atas nama generasi yang akan mewarisi kehancuran kalau tak kita cegah hari ini.”
Lebih lanjut, Yayasan Sulusulu mendesak agar pengadilan juga mempertimbangkan penyitaan harta milik Tergugat, baik berupa aset maupun hasil ekonomi dari sawit ilegal tersebut, untuk dijadikan sumber pembiayaan pemulihan Tahura Minas. Mereka menilai pemulihan ekosistem tidak boleh dibebankan pada negara atau rakyat, melainkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pelaku perusakan.
Dengan gugatan ini, Yayasan Sulusulu menggunakan hak gugat organisasi berdasarkan prinsip legal standing sebagaimana diatur dalam Pasal 73 UU Kehutanan. Mereka berharap gugatan ini menjadi preseden, bahwa publik, melalui organisasi berbadan hukum, bisa bertindak sebagai penjaga hutan, mewakili hak hukum dari alam sebagaimana dikembangkan dalam Doktrin Stone—bahwa sungai, pohon, dan hutan berhak untuk dilindungi.***